Kenapa Harus kuliah | Ilham Setiawan

Motivasi di sini adalah dasar bagi kita untuk memutuskan suatu jalan atau pilihan ke depan. Berasal dari kata movere (latin) atau dalam bahasa Inggris to move, yang artinya menggerakkan atau mendorong. Dengan motivasi-lah seseorang akan bergerak, melangkah menuju tujuan yang diinginkan. Bahkan orang yang tidak melakukan apa-apa pun juga memiliki motivasi. Yaitu motivasi untuk tidak melakukan apa-apa, alias malas!

Ada banyak motivasi yang melatarbelakangi keputusan kita untuk masuk kuliah. Namun semisal semuanya disebutkan, niscaya muaranya hanya ada pada 3 (tiga) hal; prestise, profesi, dan kontribusi.

Prestise

Prestise adalah kebanggaan yang mewakili jiwa muda kita sebagai mahasiswa. Keinginan untuk bergaul dengan sesama dan mencari kawan sebanyak-banyaknya adalah beberapa di antara banyak motivasi yang terkadang hadir di dalam benak kita. Termasuk di antaranya kebanggaan bisa masuk ke universitas/jurusan favorit.

Para fresh graduate pasti akan bersemangat ketika disinggung tentang target mereka. Kalau ada yang menjawab ‘belum tahu, hehehe’ sambil nyengir menunjukkan gigi-giginya, anggap saja dia calon mahasiswa aneh, yang belum punya tujuan yang jelas! Namun ada juga siswa fresh graduate yang idealis dalam menentukan tempat persinggahan berikutnya. Siswa seperti mereka memiliki empat jenis patokan dalam memilih targetnya;

Pertama, patokan perguruan tinggi. Semisal; “Kalau gak kuliah di ITB, tidak mau! Jurusan apa saja terserah, yang penting ITB!” Jadilah fokus usahanya hanya untuk masuk ITB.
Kedua, patokan jurusan. Semisal; “Kalau gak kuliah di Kedokteran Umum, tidak mau! Universitas mana saja terserah, yang penting Kedokteran Umum!” Maka dia akan berusaha mati-matian untuk masuk ke Kedokteran Umum.
Ketiga, patokan kota. Semisal, “Kalau gak kuliah di Surabaya, tidak mau! Universitas mana saja, jurusan apa saja, yang penting di Surabaya!” Maka dia cenderung mencari perguruan tinggi yang ada di Surabaya saja.
Keempat, patokan prospek. Semisal, “Kalau gak kuliah di kedinasan/yang menjamin jadi PNS, tidak mau! Di mana saja boleh, asal kedinasan dengan prospek jelas!” Jadilah dia akan berusaha agar diterima di jurusan dengan prospek jelas seperti yang dimaksud.

Kita pasti bangga ketika diterima di perguruan tinggi yang kita inginkan, dengan patokan seperti yang saya uraikan di atas. Dan kebanggaan itu bisa mendorong kita untuk berbuat lebih ketika perkuliahan sudah berjalan. Namun, motivasi seperti ini kurang kuat untuk bisa membuat kita bertahan. Mengapa? Karena jika seorang mahasiswa hanya menggunakan motivasi ini, yang ada adalah dia berjuang hanya untuk bisa masuk di perguruan tinggi yang diinginkan saja. Setelah masuk, tidak ada jaminan bahwa dia akan berbuat yang terbaik untuk studinya tersebut.

Memang, dengan adanya targetan seperti itu para calon mahasiswa akan terarah dalam mengambil jalan yang akan mereka tempuh selanjutnya. Namun sayang, banyak yang terlalu ‘ekstrim’ dalam menyikapi targetan di atas. Untuk mencapainya, mereka akan bekerja keras, pagi-sore-siang-malam demi mencapai targetan itu. Ketika target mereka tercapai…..TA-DA! Seolah-olah mereka berada di puncak dunia, sambil memegang piala kemenangan! Tetapi, karena tenaga mereka habis terkuras untuk menjalani tes demi tes, ketika masuk kuliah semangat mereka malah turun…

Hal di atas senada dengan yang diungkapkan oleh Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto, seorang pria asal Surabaya yang berhasil menggondol 4 gelar professor dan kini menjadi dosen salah satu universitas swasta terbesar di Jepang, Waseda University. Ketika hostsebuah acara televisi dari Indonesia bertanya kepada beliau tentang mahasiswa Jepang yang –ternyata- juga butuh dimotivasi, beliau menjawab “..semangat belajar mereka (mahasiswa) hanya untuk masuk ke Waseda (perguruan tinggi) saja..”

Prof. Soetanto banyak menyinggung tentang mahasiswa seperti mereka. Beliau mengungkapkan semangat yang mahasiswa miliki hanya sampai tingkat masuk ke perguruan tinggi saja. Jarang ada mahasiswa yang memiliki semangat melebihi itu. Oleh karena itu, jika motivasinya hanya sebatas prestise saja, maka itu belum bisa menjamin kelangsungan hidup kita selama menjadi mahasiswa. Apalagi menjamin kehidupan kita di masa depan!



Profesi

Profesi adalah orientasi hasil dari proses selama kita kuliah. Contoh konkretnya seperti ijazah, gaji, jaminan kesejahteraan hidup, menjadi Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan layak, dsb. Sangat logis jika banyak calon mahasiswa memilih jurusan berdasar pertimbangan profesi. Karena logika mereka adalah ‘karir menjanjikan kesejahteraan hidup, dan kesejahteraan hidup menjanjikan kebahagiaan’.
Ketika para calon mahasiswa melakukan survey jurusan, biasanya mereka akan menanyakan prospek kerja dari jurusan yang mereka inginkan. Bahkan tak jarang yang sampai bertanya gaji dan hal-hal lain yang menunjang kesejahteraan hidup mereka ke depan.

Mayoritas calon mahasiswa memiliki paradigma bahwa karir adalah hal penting. Karena karir menentukan status sosial mereka di masyarakat. Sehingga mereka terdorong untuk mencari sebesar-besar peluang, agar nanti setelah kuliah dengan mudah mendapatkan pekerjaan.

Hal ini memang sedikit mirip dengan patokan keempat yang telah saya jelaskan di pembahasan prestise. Hanya saja di pembahasan sebelumnya saya lebih menekankan kepada keinginan seorang calon mahasiswa untuk masuk ke jurusan dengan prospek kerja jelas. Namun ketika orientasi seorang calon mahasiswa adalah profesi –seperti yang saya bahas sekarang-, maka tujuannya setingkat lebih tinggi daripada sekedar masuk ke jurusan dengan prospek kerja baik.

Namun, walaupun setingkat lebih baik, logikanya tetap sama dengan yang prestise. Seandainya seorang mahasiswa sudah mendapat profesi yang diinginkan, maka semangatnya dalam menjalani kehidupan lambat laun akan menurun. Karena orientasinya hanya terbatas pada profesi, jika sudah mendapatkan profesi yang diinginkan, lalu setelah itu apa? Kebanyakan pasti bingung akan menentukan tujuannya

Begitu juga ketika cita-cita yang diimpikan tidak tercapai. Semisal, ia begitu ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun karena ia diterima di jurusan yang kecil kemungkinannya untuk menjadi PNS, akhirnya semangatnya turun. Sehingga kadar usaha orang tersebut menjadi terbatas pada bayangan pekerjaan yang nanti akan dijalaninya. Tidak ada gairah untuk menjalani hari-hari dalam menggapai cita-cita.

Sekedar info, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah lulusan universitas yang menjadi pengangguran terbuka adalah 8,319,779 jiwa atau sekitar 11,92 persen. Ketika motivasi mereka terbatas pada profesi, angka pengangguran terbuka lulusan universitas masih cukup mengkhawatirkan. Yang dikhawatirkan setelah lulus, mahasiswa yang motivasinya kurang tepat akan terjebak pada kejumudan/disorientasi. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita mencari alternatif motivasi lain..

Kontribusi

Kontribusi! Untuk mengulas hal ini saya sampai bingung harus mengawalinya dari mana. Karena jika kontribusi sudah disinggung, ulasannya –yang saya pikirkan- terasa sangat panjang. Sampai-sampai ketika membahasakannya dalam tulisan saya tidak sanggup menjangkau semuanya. Ke depan, kontribusi ini akan banyak kita bahas. Jadi jangan pernah bosan ya!

Kontribusi itu seperti saat kita menyelam ke dasar laut. Sebelum kita menyelam, membutuhkan persiapan yang optimal. Ketika sudah masuk ke dalam air, maka semua sudah harus ter-mindset ke dalam otak, apa yang akan dilakukan, dengan mempertimbangkan waktu yang diberikan (jatah oksigen dalam tabung).

Baiklah, mari tetapkan aturan mainnya. Tujuan: menuju dasar, ambil mutiara, dan kembali! Jika sebelum mendapatkan mutiara kita kembali, berarti gagal. Kalau oksigen habis sebelum mendapatkan sebelum kembali, berarti mati.

Saya harap Anda sudah bisa membawa analoginya ke pembahasan ini. Kontribusi tidak bisa setengah-setengah. Ia meminta kita terjun secara penuh ke dalam tugas yang diberikan. Kalau ia menuntut tubuh kita basah, maka dari ujung rambut sampai ujung kaki harus ikut basah. Tidak hanya sebagian kaki atau tangan saja. Tetapi semua!

Sebelum tugasnya selesai, kita tidak bisa kembali. Karena kalau kembali tanpa membawa hasil, berarti kita sudah membuang-buang energi. Lebih baik kita tidak usah menyelam sekalian.
Kita juga harus pandai-pandai menakar kemampuan. Jangan sampai energi kita habis untuk mengerjakan hal yang tidak strategis. Ingat, kita masih punya tujuan. Efektivitas itu sangat diperlukan. Jika kita tidak bisa me-manage dengan baik, bisa-bisa waktu kita habis sebelum tujuan kita tercapai. Kalau sudah begitu, tahu sendiri kan risikonya…

Mahasiswa yang ingin berkontribusi tidak terlalu memikirkan hal-hal teknis yang akan dibebankan padanya –dalam hal ini berupa pilihan jurusan-. Walaupun dia memiliki kecenderungan yang membuatnya merasa nyaman untuk berkontribusi di sana, andai Allah memberikan jalan lain, ia akan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Singkatnya, apabila ia ditempatkan pada jurusan yang ia sukai, alhamdulillah. Kalau tidak, ya alhamdulillah. Bumi Allah sangat luas untuk dijadikan tempat berkontribusi.

Targetnya tidak terpatok pada batas kelulusan saja, lebih tinggi lagi. Yaitu apa yang akan dilakukan setelah lulus! Bahkan lebih tinggi dari itu.. sapa yang akan dilakukan setelah bekerja! Apa yang akan dilakukan setelah berkeluarga! Apa yang akan diberikannya pada masyarakat! Apa yang akan diberikannya pada umat! Apa yang akan diberikannya pada dunia!!!

Mahasiswa seperti ini memahami, bahwa kuliah hanyalah secuil usaha dari banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menuju kematangan. Sehingga ia selalu belajar..belajar..dan belajar! Ia pun sadar, bahwa ilmu yang diperolehnya tidak sertamerta menjadi miliknya saja. Umat juga berhak mengaksesnya. Oleh karena itu setelah menuntut ilmu, ia tidak enggan atau lupa untuk berkarya..berkarya..dan berkarya!

Dan mahasiswa yang ingin berkontribusi, selalu belajar dan berkarya! Karena di jalan dakwah mereka kuliah.

Previous
Next Post »

Kalau ingin berkomentar silahkan untuk klik "join this site" agar kamu bisa komen sepuasnya Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Thanks for your comment